MALAM NYIALANG

RITUS

Malam Nyialang
Hai ading, Sangkan lambat menenun baju
Masih nenun sampul tangan Sangkan lambat kita betemu
Lagi besirak lagi bedendan. Itulah syair pembuka ketika Bujang Piawang (sebutan untuk orang yang ahli/naik mengambil madu) akan memulai panen madu lebah hutan atau Nyialang. Sebutan Ading (adik) ditujukan untuk lebah madu sebagai kata penghormatan. Syair itu bermakna pujian dan pamit kepada lebah yang madunya akan diambil. Penghormatan dan pamit ini diperlukan demi menjaga diri semua pelaku nyialang, karena prosesi panen madu berlangsung pada malam hari. Mulai pukul sekitar 21.00, selama 3 sampai 4 jam kegiatan akan dilakukan, dengan tanpa tali pengaman dan lampu penerang. Prosesi Nyialang akan didahului dengan ritual Nyebut, yaitu membakar kemenyan dengan menaruh sesajian telur rebus dan nasi kuning di bawah pohon. Ritual itu dipercaya akan memperlancar proses Nyialang, dipercaya pohon itu ada makhluk halus penunggunya. Nyialang dilakukan oleh satu kelompok yang terdiri sedikitnya 5 orang. Sebagian nanti akan sebagai Bujang Piawang akan naik pohon untuk mengambil madu, sebagian lainnya bertugas di bawah, akan menyambut kaleng hasil panen madu yang diturunkan dengan tali dari atas. Peralatan penting dalam nyialang:
Tangga bambu yang disebut panting Alat pengapian yang disebut sela
Kaleng untuk menampung madu. Panting dibuat dari dua batang bambu. Pijakan-pijakannya berupa bilah-bilah dari pangkal bambu petung yang dipotong seukuran panjang 30 cm dan sebesar sejempol tangan orang dewasa. Tangga-tangga ini ditancapkan dengan palu kayu (catuk) saat malam pengambilan madu, dimulai dari bawah pohon sampai ke dahan yang paling tinggi yang ada sarang lebahnya. Alat ini akan dipergunakan oleh Bujang Piawang untuk memanjat pohon dan mencapai sarang lebah. Peralatan lain yang dipergunakan adalah alat pengapian yang disebut sela. Alat ini terbuat dari seludang bunga kelapa kering yang dibelah-belah kecil lalu diikat satukan menjadi seperti sapu lidi. Setelah berada dekat sarang lebah, Bujang Piawang akan membakar sela itu lalu diusap-usapkan ke sarang lebah. Panas api dan asap yang ditimbulkan oleh sela akan membuat lebahnya beterbangan menjauhi sarangnya. Ujung sela selanjutnya akan dipukul-pukulkan ke dahan hingga menimbulkan percikan-percikan bunga api. Lebah-lebah yang beterbangan akan segera mengejar bunga-bunga api yang berjatuhan. Dan, saat itulah sarang lebah dalam kondisi aman untuk diambil madu dan anak lebahnya, karena sebagian besar lebah telah meninggalkan sarangnya.
Selain alasan tradisi, juga untuk keamanan, maka hanya Bujang Piawang yang boleh menyalakan api. Anggota kelompok lain, atau pun orang yang menyaksikan tidak boleh menyalakan api, bahkan merokok sekalipun, karena akan beresiko dikejar dan diserbu oleh lebah-lebah yang telah marah akibat sarang mereka diganggu. Dalam kondisi aman, Bujang Piawang pun memanen madu dan anak lebah di puncak pohon. Dengan kaleng (atau ember), madu-madu itu ditampung, setelah penuh lalu dengan menggunakan tali diulur turun untuk diterima oleh anggota kelompok yang menunggu di bawah. Adapun salah satu media yang digunakan ialah sistem interaksi yang digunakan oleh masyarakat Serawai (Suku Serawai)yang tinggal di Kecamatan Semidang Alas Kabupaten Seluma,yang merupakan suatu suku bangsa di Indonesia yang tepatnya berada di Provinsi Bengkulu.Suku Serawai mencakup dua Kabupaten di Provinsi Bengkulu, Kabupaten Seluma, dan Bengkulu Selatan, bahasa yang digunakan oleh masyarakat suku Serawai adalah bahasa Serawai itu sendiri tidak terlalu jauh dari bahasa Melayu, oleh karena itu bahasa Serawai sangat mudah untuk dipelajari oleh masyarakat,penduduk di Indonesia.Masyarakat Serawai di Kecamatan Semidang Alas, Khususnya di desa Renah Gajah Mati II,mempuyai kekayaan sastra daerah tradisional yaitu mantra.Adapun kekayaan sastra daerah tradisional yang ada dalam masyakat asli Serawai, mereka menyebut mantra ini sebagai jampi, ataupun ucap yang merupakan warisan turun temurun dari nenek moyang suku Serawai di Provinsi Bengkulu.Jampi biasanya identik dengan pengobatan tradisional,dan ucap biasa digunakan masyarakat sebagai pembelaan diri ataupun menunjukkan aura yang bisa membuat seseorang menjadi enak dipandang ataupun sebagainya. Mantra di kecamatan Semidang Alas, Kabupaten Seluma berupa jampi sudah digunakan oleh masyarakat desa Renah Gajah mati II secara turun temurun dari nenek moyang yang dahulunya belum mengenal pengobatan medis, seperti contohnya jampi limau, yang mana jampi limau ini memiliki beberapa macam kegunaan seperti untuk mengobati orang yang demam tinggi, untuk mengusir roh halus dan masih banyak lagi lainnya